Setelah perempuan menikah benarkah surga tak ditelapak kaki ibu?
Sebagai anak perempuan yang telah menikah, kewajiban yang harus dipenuhi tentu saja bukan lagi kepada orang tua melainkan kepada suaminya juga. 

Namun bagaimana jika kewajiban pada orang tua sudah hilang dan terlupakan? lebih memperhatikan kewajiban pada suami Bagaimana hukumnya?

Islam sendiri memberikan perintah kepada muslimah agar selalu mentaati suaminya dan mengikuti suaminya selagi suaminya masih dalam aturan atau syariat Islam.

Akan tetapi, tentu saja bukan berarti seorang anak perempuan harus melupakan orang tuanya atau lepas dari tanggung jawabnya terhadap orang tua. Ia masih harus berbakti dan menjadi anak dari orang tuanya.

Tentu saja, orang tua telah memberikan jasanya pada kita sejak kecil dan tidak akan pernah terganti atau terhitung sebarapa banyaknya. Hal ini sebagiamana disampaikan oleh hadist nabi:

“Keridhoaan Allah itu terletak pada keridhoan orang tua, dan murka Allah itu terletak pada murka orang tua” (HR Tirmidzi)

Ada suatu kisah yang mengoyak hati, merubah pandangan setiap anak wanita yang lupa atas kewajiban dan kepedulian pada orang tuanya.

Mengutip dari berbagai sumber, pada hari Raya Idul Fitri kemarin, saya berhalangan shalat Ied. Supaya tidak kehilangan moment Idul Fitri, saya bersama anak perempuan saya pergi ke sebuah taman yang di sana dilaksanakan shalat Idul Fitri. 

Saya duduk di sebuah bangku taman, yang cukup jauh dari lingkungan shalat. 

Tiba-tiba ada seorang perempuan tua yang minta bantuan saya. Saya mendekatinya, ternyata dia bekas menderita stroke, hingga tak bisa berjalan secara normal. 

Saya memapahnya sampai ke lapangan dan kebetulan ada juga seorang mbak yang membawakan tas beliau. 

Habis shalat saya dekati lagi perempuan tua itu, dan saya hantar balik ke rumahnya, di pinggiran taman. 

Sambil berjalan, perempuan itu cerita, kalau sudah beberapa bulan kena serangan stroke, hingga akhirnya dia bisa berjalan, walaupun belum sempurna. 

Dia juga cerita, kalau dia tinggal sendiri.  Punya anak perempuan, tapi ikut suaminya. 

Ketika sampai di rumahnya, saya dibuat kaget. Gambaran rumah fakir terlihat di mata saya. Sendiri? Dalam keadaan stroke? Di dalam rumah, yang boleh dikatakan dalam kondisi darurat?

Sebelum pulang, saya sisipkan selembar uang, mudahan sedikit-sedikit bisa menyenangkannya. Ibu berterima kasih sambil menangis.

Jujur, terbersit di benak saya, bahwa itu hanya kepura-puraan. Iya, akibat banyaknya pengemis yang pura-pura. 



Pengemis-pengemis yang pandai menguras rasa iba pada orang-orang yang hatinya terlalu lembut.

Suatu hari, saya sisihkan waktu untuk menjenguk perempuan tua itu.

Ternyata, dia masih mengenali saya. Setelah diizinkan masuk, betapa kagetnya saya. 

Di dalam rumahnya penuh sesak barang-barang yang berantakan. Yang hanya celah, satu kasur, kursi yang juga penuh dengan obat-obatan.

Saya dapat memahami hal itu, karena beliau penderita stroke, tentu tak dapat mengurus semua itu

Kebetulan saat itu dia sedang makan. Saya tanya, “Makanan siapa ngantar?”

Dia bilang, titip ke tetangga yang kebetulan juga saudara beliau.

Tapi, saudaranya laki-laki, maka saya dapat maklum, begitulah laki-laki, bukan kebiasaannya mengurus tetek bengek rumah tangga. 

Dia cerita tentang penyakit, dana-dana yang diberikan saudara-saudaranya untuk berobat, dan juga tentang putrinya yang sudah tak peduli lagi.

Pada saat menceritakan putrinya, dia menangis. Satu putrinya, ga tau kemana, semenjak dia bercerai dengan suaminya. Satu putrinya lagi ikut sama dia, tapi setelah menikah, lebih peduli dengan keluarga barunya.

Dia juga cerita, putrinya berkata, “Sekarang surganya tak lagi pada ibunya, tapi pada suaminya. Dia harus taat pada suami.”

Dalam hadist riwayat Trirmidzi menjelaskan


عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا ».

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Andai boleh kuperintahkan seseorang untuk bersujud kepada yang lain tentu kuperintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya” (HR Tirmidzi no 1159, dinilai oleh al Albani sebagai hadits hasan shahih).

Dalam hadits ini terdapat ungkapan yang sangat hiperbola menunjukkan wajibnya istri untuk menunaikan hak suaminya karena tidak diperbolehkan bersujud kepada selain Allah.”

Berdasarkan hadits di atas maka seorang istri berkewajiban untuk lebih mendahulukan hak suami dari pada orang tuanya jika tidak mungkin untuk menyelaraskan dua hal ini.

Memang dalam hadist sudah dijelaskan banyaknya hak suami yang wajib dipenuhi oleh istri tetapi tidak lupa juga kewajibannya pada orang tua.

Berkali-kali ibu itu mengucapkan kalimat itu sambil menangis.
      


Saya shock dengan kalimat itu. Tega benar anak itu! Ibu itu juga sering bertanya, “Benarkah seperti itu?”

Belum pulih dari keshockan, sekarang harus berhadapan dengan pertanyaan itu. 

Tentu saja itu tidak benar. Memang seorang wanita, bila sudah menikah, ia harus taat pada suaminya, melebihi ketaatan pada orang tuanya. 

Tapi, bukan berarti harus mengabaikan orang tua, apalagi bila kondisi orang tua yang sangat uzur.

Jujur, saat itu saya marah sekali. Ingin sekali meluapkan kemarahan pada seorang putri dan  suami seperti itu. 

Tega-teganya dia berkata begitu, di saat ibunya memerlukan bantuan. 
Tapi, saya pun pun mencoba memposisikan diri sebagai seorang anak yang sudah menjadi istri dari seorang laki-laki.

Iya, kadang kondisi seperti ini menjadi dilema bagi seorang anak yang sudah menjadi istri. 

Bekerja, suami, anak-anak dan orang tua. Sulit memberi perhatian secara adil di berbagai tempat, apalagi lagi jika tempatnya berjauhan.

Tapi, menurut saya, jauhnya tempat bukan berarti tertutup bagi orang untuk mendapatkan perhatian anak-anaknya. 

Dengan memberikan kebahagiaan dan tetap berbakti kepada orang tua, tentunya kita telah menjalankan perintah islam. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Allah dalam al-Qur’an surat Al-Isra’



وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا () وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُل رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, ‘Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil’.” (QS. Al-Isra : 23-24.)

Semoga kewajiban yang kita lakukan ini dapat memberikan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Kasih sayang orang tua sepanjang massa dan kita tidak akan bisa membalasnya sebagiamana mereka mendidik kita waktu kecil.

Related Posts

Silakan pilih sistem komentar anda ⇛   

0 komentar untuk Setelah Menikah Perempuan Tidak Peduli pada Ibunya Karena ada Suami, Bagaimana Hukumnya?